
PT Krakatau Steel (Persero) Tbk, emiten baja pelat merah dengan kode saham KRAS, mencatat kerugian bersih sebesar Rp2,4 triliun pada tahun 2024. Angka ini mengejutkan banyak pihak, mengingat sebelumnya perusahaan sempat menunjukkan tren pemulihan. Namun, sejumlah faktor internal dan eksternal turut berperan dalam memburuknya kinerja keuangan tersebut.
Transisi dari tahun 2023 ke 2024 memang bukan hal mudah bagi KRAS. Masalah teknis, beban keuangan yang menumpuk, serta tekanan pasar global memperberat langkah perusahaan baja nasional ini.
Masalah Teknis Jadi Biang Kerok
Salah satu penyebab utama kerugian adalah tidak beroperasinya fasilitas Hot Strip Mill #1 (HSM#1) sejak pertengahan 2023. Fasilitas ini mengalami kerusakan pada switch house Finishing Mill, sehingga produksi Hot Rolled Coil (HRC) — produk andalan Krakatau Steel — terganggu. Akibatnya, pendapatan pun menurun drastis.
Tak hanya itu, beban keuangan akibat utang restrukturisasi dan hasil negatif dari entitas anak dan asosiasi turut memperburuk keadaan. Kondisi ini menjadi beban berat bagi neraca keuangan perusahaan.
Dirut Buka Suara: Ini Penjelasan Muhamad Akbar
Menanggapi situasi ini, Direktur Utama Krakatau Steel, Muhamad Akbar, angkat bicara. Dalam keterangan resminya, ia menjelaskan bahwa perusahaan tengah menjalani masa transisi penting. Ia menyebut kerugian ini sebagai “konsekuensi sementara dari perbaikan fundamental yang sedang berjalan.”
Akbar juga menambahkan bahwa Krakatau Steel sudah melakukan berbagai langkah strategis, seperti restrukturisasi utang, efisiensi operasional, dan optimalisasi aset. “Kami sedang membangun kembali fondasi bisnis agar lebih kuat dan berkelanjutan ke depan,” ujarnya optimistis.
Rencana Pemulihan: Harapan Baru di 2025
Meskipun hasil tahun 2024 mengecewakan, manajemen Krakatau Steel percaya diri menatap 2025. Salah satu strategi utamanya adalah mempercepat perbaikan HSM#1, yang ditargetkan kembali beroperasi pada akhir tahun ini.
Selain itu, perusahaan juga telah menjalin kontrak jangka panjang dengan 20+ distributor dan pabrik, yang akan menjamin stabilitas permintaan produk baja. Langkah-langkah tersebut diharapkan mampu meningkatkan volume penjualan dan menekan biaya produksi.
Dukungan Pemerintah Dinanti
Situasi Krakatau Steel menjadi sinyal penting bagi pemerintah untuk lebih serius memperhatikan industri strategis nasional. Anggota Komisi VII DPR bahkan telah menyerukan agar negara ikut membantu lewat kebijakan pembiayaan maupun perlindungan pasar domestik dari serbuan baja impor murah.
Tanpa dukungan konkret, transformasi Krakatau Steel bisa tersendat dan berdampak luas pada ekosistem industri baja Tanah Air.
Penutup: Jalan Terjal Menuju Kebangkitan
Krakatau Steel tengah menghadapi badai finansial, namun bukan berarti mustahil untuk bangkit. Dengan kombinasi strategi bisnis, pemulihan fasilitas produksi, dan dukungan kebijakan pemerintah, perusahaan ini punya peluang untuk kembali menunjukkan taringnya sebagai raksasa baja Indonesia.
Kerugian Rp2,4 triliun hanyalah batu sandungan — bukan akhir cerita.